Bisnis peternakan memiliki potensi pertumbuhan yang
enjanjikan kedepan, namun sikap pesimisme terhadap peranan pertanian-peternakan
sebagai penggerak perekonomian menjadi batu sandungan dalam mengembangkan
bisnis peternakan yang berkelanjutan. Kegundahan terhadap pembangunan
peternakan bukan tanpa alasan. Ada keyakinan terjadinya paradox pembangunan di
Negara-negara berkembang (termasuk Indonesia), dimana kebijakan pemerintah
sering kali tidak berpihak kepada kepentingan peternakan. Sementara di
Negara-negara maju, kebijakan-kebijakan pemerintah malah berpihak kepada sektor
peternakan.
Beberapa kebijakan pemerintah di beberapa Negara
berkembang sering kali tidak bersahabat dengan sektor pertanian dan peternakan.
Paling tidak ada lima fenomena yang mencerminkan sikap agripesimisme, yaitu:
(a) kebijakan pemerintah yang bersifat “double squeeze”, (b) kebijakan
pemerintah yang bersifat “price scissors”, (c) salah mengartikan proses
perubahan structural dala perekonomian, di mana sumbangan relatif sektor
pertanian-peternakan dalam PDB semakin lama semakin menurun, (d) belanja public
yang belum memadai dan (e) adanya penurunan bantuan donor bagi sektor
pertanian-peternakan dan pembangunan pedesaan.
“The double squeeze development on agriculture”,
sebuah istilah yang dicetuskan oleh Owen (1996). Istilah ini menggambarkan
fenomena posisi petani yang mengalami jepitan (pemerasan) dari dua sisi.
Jepitan pertama adalah terkait dengan soal harga produk pertanian yang ditekan dengan
tujuan agar masyarakat industri yang notabene merupakan masyarakat perkotaan
tidak mengeluarkan biaya banyak untuk membeli produk pertanian. Jepitan kedua
berasal dari harga-harga bahan (input) yang digunakan untuk para petani untuk
sektor pertanian-peternakan biasanya jauh lebih tinggi.
Fenomena kedua adalah “price scissors”.
“Price scissors” merupakan fenomena ekonomi berupa harga-harga riil
pertanian yang cenderung menurun, sementara harga-harga untuk pengolahannya
(industri) relative stabil. Fenomena ini sangat merugikan Negara-negara yang “net-exporters”
dan “net-importers” produk-produk industrinya.
Fenomena ketiga, banyak pengambilan kebijakan
yang salah mengartikan proses perubahan struktural perekonomian. Menurut teori
perubahan struktural, ontribusi relatif sektor pertanian-peternakan terhadap
PDB selalu menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, sementara
kontribusi relatif sektor industri selalu meningkat. Banyak yang kemudian
beranggapan bahwa mengingat kontribusi relatif pertanian-peternakan terhadap
PDB selalu menurun, maka tak selayaknya pertanian-peternakan dipandang sebagai
sektor prioritas lagi dalam pembangunan ekonomi.
Fenomena keempat, kalaupun sektor
pertanian-peternakan telah diyakini sebagai sektor yang dapat diandalkan (prime
mover) dalam pembangunan perekonomian suatu Negara, belum tentu alokasi
belanja public sesuai dengan peran yang diharapkan. Alokasi belanja public
untuk pertanian (termasuk subsidi) di Indonesia saat ini berjumlah lebih kurang
Rp 45 triliun (kurang dari 5% dari APBN).
Fenomena kelima yang mencerminkan adanya
pesimisme dalam pertanian-peternakan adalah adanya kecenderungan andil
pertanian-peternakan yang menurun drastic dalam bantuan pembangunan resmi.
Selama kurun waktu dua dasawarsa terakhir, dari sekiter 18% pada tahun 1979
menurun menjadi hanya 3,5% pada tahun 2004 (World Development Report,
2008).
Pada masa mendatang, kalau kita ingin bisnis
peternakan semakin berkembang dan semakin berdaya saing, maka tidak ada pilihan
lain untuk selalu mengembangkat sikap optimism dan hindarkan sikap pesimisme
yang tidak bersahabat terhedap kemajuan bisnis dbidang peternakan. Dalam hal
ini, semua pelaku pembangunan di bidang peternakan harus meningkatkan apa yang disebut
dengan “adversity quotient skills”, yaitu suatu kemampuan yang dapat
merubah hambatan, tantangan dan bahkan ancaman menjadi sebuah peluang usaha
yang menguntungkan. Seseorang yang memiliki AQ (adversity quotient) yang
tinggi, tidak cepat berputus asa.
0 komentar
Posting Komentar