- See more at: http://blog-rangga.blogspot.com/2013/01/cara-mengganti-icon-kursor-blog-dengan.html#sthash.eLDwJIqo.dpuf



Jumat, 27 Desember 2013

Agripesimisme Pembangunan Peternakan



Bisnis peternakan memiliki potensi pertumbuhan yang enjanjikan kedepan, namun sikap pesimisme terhadap peranan pertanian-peternakan sebagai penggerak perekonomian menjadi batu sandungan dalam mengembangkan bisnis peternakan yang berkelanjutan. Kegundahan terhadap pembangunan peternakan bukan tanpa alasan. Ada keyakinan terjadinya paradox pembangunan di Negara-negara berkembang (termasuk Indonesia), dimana kebijakan pemerintah sering kali tidak berpihak kepada kepentingan peternakan. Sementara di Negara-negara maju, kebijakan-kebijakan pemerintah malah berpihak kepada sektor peternakan.
Beberapa kebijakan pemerintah di beberapa Negara berkembang sering kali tidak bersahabat dengan sektor pertanian dan peternakan. Paling tidak ada lima fenomena yang mencerminkan sikap agripesimisme, yaitu: (a) kebijakan pemerintah yang bersifat “double squeeze”, (b) kebijakan pemerintah yang bersifat “price scissors”, (c) salah mengartikan proses perubahan structural dala perekonomian, di mana sumbangan relatif sektor pertanian-peternakan dalam PDB semakin lama semakin menurun, (d) belanja public yang belum memadai dan (e) adanya penurunan bantuan donor bagi sektor pertanian-peternakan dan pembangunan pedesaan.
The double squeeze development on agriculture”, sebuah istilah yang dicetuskan oleh Owen (1996). Istilah ini menggambarkan fenomena posisi petani yang mengalami jepitan (pemerasan) dari dua sisi. Jepitan pertama adalah terkait dengan soal harga produk pertanian yang ditekan dengan tujuan agar masyarakat industri yang notabene merupakan masyarakat perkotaan tidak mengeluarkan biaya banyak untuk membeli produk pertanian. Jepitan kedua berasal dari harga-harga bahan (input) yang digunakan untuk para petani untuk sektor pertanian-peternakan biasanya jauh lebih tinggi.
Fenomena kedua adalah “price scissors”. “Price scissors” merupakan fenomena ekonomi berupa harga-harga riil pertanian yang cenderung menurun, sementara harga-harga untuk pengolahannya (industri) relative stabil. Fenomena ini sangat merugikan Negara-negara yang “net-exporters” dan “net-importers” produk-produk industrinya.
Fenomena ketiga, banyak pengambilan kebijakan yang salah mengartikan proses perubahan struktural perekonomian. Menurut teori perubahan struktural, ontribusi relatif sektor pertanian-peternakan terhadap PDB selalu menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, sementara kontribusi relatif sektor industri selalu meningkat. Banyak yang kemudian beranggapan bahwa mengingat kontribusi relatif pertanian-peternakan terhadap PDB selalu menurun, maka tak selayaknya pertanian-peternakan dipandang sebagai sektor prioritas lagi dalam pembangunan ekonomi.
Fenomena keempat, kalaupun sektor pertanian-peternakan telah diyakini sebagai sektor yang dapat diandalkan (prime mover) dalam pembangunan perekonomian suatu Negara, belum tentu alokasi belanja public sesuai dengan peran yang diharapkan. Alokasi belanja public untuk pertanian (termasuk subsidi) di Indonesia saat ini berjumlah lebih kurang Rp 45 triliun (kurang dari 5% dari APBN).
Fenomena kelima yang mencerminkan adanya pesimisme dalam pertanian-peternakan adalah adanya kecenderungan andil pertanian-peternakan yang menurun drastic dalam bantuan pembangunan resmi. Selama kurun waktu dua dasawarsa terakhir, dari sekiter 18% pada tahun 1979 menurun menjadi hanya 3,5% pada tahun 2004 (World Development Report, 2008).
Pada masa mendatang, kalau kita ingin bisnis peternakan semakin berkembang dan semakin berdaya saing, maka tidak ada pilihan lain untuk selalu mengembangkat sikap optimism dan hindarkan sikap pesimisme yang tidak bersahabat terhedap kemajuan bisnis dbidang peternakan. Dalam hal ini, semua pelaku pembangunan di bidang peternakan harus meningkatkan apa yang disebut dengan “adversity quotient skills”, yaitu suatu kemampuan yang dapat merubah hambatan, tantangan dan bahkan ancaman menjadi sebuah peluang usaha yang menguntungkan. Seseorang yang memiliki AQ (adversity quotient) yang tinggi, tidak cepat berputus asa.

Artikel Terkait

0   komentar

Posting Komentar

Cancel Reply
Agriculture Digest